LATAR
BELAKANG
Pasar sebagai suatu bentuk pelayanan
umum tempat terjadinya transaksi jual beli barang bagi masyarakat, merupakan
salah satu cerminan perekonomian dan sosial budaya setiap komunitas di dunia
ini. Seiring dengan perkembangan zaman, dari waktu ke waktu pasar mengalami evolusi
bentuk tempat dan cara pengelolaannya, dari yang bersifat tradisional menjadi
modern. Perkembangan tempat perbelanjaan di kota-kota di dunia, baik di negara-negara
Barat maupun Asia, semuanya melalui tahapan-tahapan, mulai dari pasar
tradisional, yang kemudian mengalami proses modernisasi menjadi toserba (toko
serba ada), jaringan toko, shopping center, department store, supermarket.
Proses modernisasi ini tidak terlepas dari perubahan pola demografi,
spesialisasi dan diversifikasi profesi, serta struktur sosial ekonomi dan
perubahan budaya masyarakat (West, 1994).
Pada satu sisi keberadaan pasar-pasar modern
(plaza/supermarket) tidak dapat diabaikan seiring dengan perkembangan dan perubahan
perilaku konsumtif masyarakat, namun pada sisi lain keberadaan pasar tradisional
sebagai tuntutan masyarakat kebanyakan juga tidak bisa dipinggirkan. Situasi
yang serba bertolak belakang ini senantiasa berdampak pada terjadinya tarik menarik
(trade off) antara pasar modern dengan pasar tradisional.
Keberadaan pasar tradisional di era
modern seperti sekarang ini tidak saja masih dibutuhkan, tetapi juga tidak
dapat dipisahkan dari sistem kehidupan masyarakat Indonesia. Kondisi ini
disebabkan karena pada sebagian besar masyarakat Indonesia masih banyak yang
belum memahami manfaat dari perkembagan ilmu dan teknologi, misalnya berbelanja
melalui internet. Sampai saat ini menurut Basalah pasar tradisional masih dominan
peranannya di Indonesia dan masih sangat dibutuhkan keberadaannya, terutama
bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Menurut Geertz di dalam pasar tradisional
tekanan terpenting dalam persaingan bukanlah antara kegigihan penjual dengan
penjual lainnya, tetapi persaingan antara kegigihan penjual dengan calon pembeli
dalam melakukan proses tawar menawar (Narwoko&Bagong, 2004 : 281) Manusia
adalah mahluk homo economics yang selalu ingin memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Karena itu kalau
membeli barang selalu akan memilih yang manfaatnya terbesar dengan harga tertentu
atau harganya termurah.
Penjual yang ingin memperoleh harga
yang inggi, barangnya tidak akan laku, karena langsung disaingi sehingga
terpaksa harus menurunkan harganya. Kebutuhan dan keinginan pembeli yang bervariasi
merupakan pedoman bagi pedagang dalam melaksanakan usahanya. Pembeli biasanya
memperlihatkan preferensi dan prioritas barang yang berbeda-beda. Mereka pada
umumnya menginginkan produk dan jasa yang memuaskan kebutuhan mereka dengan
harga yang besaing. Perbedaan-perbedaan inilah yang menciptakan segmen pasar
bagi para pembeli. Perilaku pembeli merupakan tindakan-tindakan individu yang
secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh, menggunakan, dan menentukan
produk dan jasa, termasuk dalam proses pengambilan keputusan yang mendahului
dan mengikuti tindakan-tindakan tersebut (Setiadi, 2003 : 93)
Pada umumnya setiap pembeli selalu
menginginkan barang-barang yang berkualitas tinggi dengan harga yang murah dan
suasana berbelanja yang nyaman, bersih dan tersedia berbagai fasilitas yang
dibutuhkan pembeli seperti transaksi elektronik (ATM dan kartu kredit) dan
tersedianya tempat parkir yang luas. Kesemua fasilitas tersebut tentunya terdapat
di pasar modern. Memuaskan pembeli adalah merupakan kunci sukses dalam
melaksanakan bisnis perdagangan. Berbagai tanggapan dari pelanggan perlu
diterima sebagai masukan yang berguna bagai pemgembangan suatu perdagangan,
oleh karena itu pedagang dalam mencapai tujuannya tersebut harus mengetahui apa
yang diinginkan dan yang dibutuhkan oleh pembelinya. Namun tidaklah mudah bagi
pedagang untuk mengenal watak dan prilaku dari pembelinya, karena bisa jadi apa
yang diungkapkan itu bertolak belakang dengan sebenarnya.
PENGERTIAN PASAR DAN PASAR TRADISIONAL
Pasar adalah salah satu
dari berbagai sistem, institusi, prosedur, hubungan sosial dan infrastruktur
dimana usaha menjual barang, jasa dan tenaga kerja untuk orang-orang dengan
imbalan uang. Barang dan jasa yang dijual menggunakan alat pembayaran yang sah
seperti uang fiat. Kegiatan ini merupakan bagian dari perekonomian. Ini adalah
pengaturan yang memungkinkan pembeli dan penjual untuk item pertukaran.
Persaingan sangat penting dalam pasar, dan memisahkan pasar dari perdagangan.
Dua orang mungkin melakukan perdagangan, tetapi dibutuhkan setidaknya tiga
orang untuk memiliki pasar, sehingga ada persaingan pada setidaknya satu dari
dua belah pihak. Pasar bervariasi dalam ukuran, jangkauan, skala geografis,
lokasi jenis dan berbagai komunitas manusia, serta jenis barang dan jasa yang
diperdagangkan. Beberapa contoh termasuk pasar petani lokal yang diadakan di
alun-alun kota atau tempat parkir, pusat perbelanjaan dan pusat perbelanjaan,
mata uang internasional dan pasar komoditas, hukum menciptakan pasar seperti
untuk izin polusi, dan pasar ilegal seperti pasar untuk obat-obatan terlarang.
Pasar tradisional
merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya
transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses
tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan
dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar.
Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa
ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa
dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang
lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia, dan umumnya
terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar.
Beberapa pasar tradisional yang "legendaris" antara lain adalah pasar
Beringharjo di Yogyakarta, pasar Klewer di Solo, pasar Johar di Semarang. Pasar
tradisional di seluruh Indonesia terus mencoba bertahan menghadapi serangan
dari pasar modern.
MASALAH
PASAR TRADISIONAL
Maraknya pembangunan pasar modern
seperti hypermarket dan supermarket telah menyudutkan pasar tradisional di
kawasan perkotaan, karena menggunakan konsep penjualan produk yang lebih
lengkap dan dikelola lebih profesional. Kemunculan pasar modern di Indonesia
berawal dari pusat perbelanjaan modern Sarinah di Jakarta pada tahun 1966 dan
selanjutnya diikuti pasar-pasar modern lain (1973 dimulai dari Sarinah Jaya,
Gelael dan Hero; 1996 munculnya hypermarket Alfa, Super, Goro dan Makro; 1997
dimulai peritel asing besar seperti Carrefour dan Continent; 1998 munculnya
minimarket secara besar-besaran oleh Alfamart dan Indomaret; 2000-an
liberalisasi perdagangan besar kepada pemodal asing), serta melibatkan pihak
swasta lokal maupun asing. Pesatnya perkembangan pasar yang bermodal kuat dan
dikuasai oleh satu manajemen tersebut dipicu oleh kebijakan pemerintah untuk
memperkuat kebijakan penanaman modal asing.
Dampak dari hal yang dikemukakan,
menurut survei AC Nielsen pada tahun 2004 didapatkan data bahwa pertumbuhan
pasar modern 31,4% dan pasar tradisional bahkan minus 8,1%. Hal ini menunjukkan
adanya masalah yang dihadapi pasar tradisional sebagai wadah utama penjualan
produk-produk kebutuhan pokok yang dihasilkan oleh para pelaku ekonomi skala
menengah kecil.
Pasar tradisional selama ini
kebanyakan terkesan kumuh, kotor, semrawut, bau dan seterusnya yang merupakan
stigma buruk yang dimilikinya. Namun demikian sampai saat ini di kebanyakan
tempat masih memiliki pengunjung atau pembeli yang masih setia berbelanja di
pasar tradisional. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak juga pasar
tradisional yang dalam perkembangannya menjadi sepi, ditinggalkan oleh
pengunjung atau pembelinya yang beralih ke pasar moderen.
Stigma yang melekat pada pasar
tradisional secara umum dilatarbelakangi oleh perilaku dari pedagang pasar,
pengunjung atau pembeli dan pengelola pasar. Perilaku pedagang pasar dan
pengunjung dan pengunjung atau pembeli yang negatif secara perlahan dan
bertahap dapat diperbaiki, sekalipun memerlukan waktu lama. Keterlibatan
pengelola pasar dalam perbaikan perilaku ini adalah suatu keniscayaan.
Melekatnya stigma buruk pada pasar
tradisional, seringkali mengakibatkan sebagian dari para pengunjung mencari
alternatif tempat belanja lain, di antaranya mengalihkan tempat berbelanja ke
pedagang kaki lima dan pedagang keliling yang lebih relatif mudah dijangkau
(tidak perlu masuk ke dalam pasar). Bahkan kebanyakan para pengunjung yang
tergolong di segmen berpendapatan menengah bawah ke atas cenderung beralih ke
pasar moderen, seperti pasar swalayan (supermarket dan minimarket) yang
biasanya lebih mementingkan kebersihan dan kenyamanan sebagai dasar
pertimbangan beralihnya tempat berbelanja.
Seringkali dikesankan bahwa perilaku
pedagang yang menjadi penyebab utama terjadinya kondisi di kebanyakan pasar
tradisional memiliki stigma buruk. Sebaliknya, di lapangan di lapangan dijumpai
peran pengelola pasar terutama dari kalangan aparatur pemerintah dalam
mengupayakan perbaikan perilaku pedagang pasar tradisional masih sangat
terbatas. Banyak penyebab yang melatarbelakangi kondisi ini. Dimulai dari
keterbatasn jumlah tenaga dan kemampuan (kompetensi) individu tenaga pengelola
pengelola serta keterbatasan kelembagaan (organisasi) pengelola pasar untuk
melakukan pengelolaan pasar dan pembinaan pedagang,
Selanjutnya permasalahan yang dihadapi
oleh para pengelola pasar di lapangan tidak terlepas dari Kebijakan pimpinan
daerah dan para pejabat di bawahnya (Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah-SKPD)
di tingkat Kabupaten atau Kota. Dari kebijakan yang dikeluarkan dapat diketahui
kepedulian mereka terhadap pasar tradisional berserta para pedagang di dalamnya
dan para Pedagang Kaki Lima (PKL). Seperti diketahui pembiaran PKL dapat
menyebabkan gangguan terhadap pasar tradsional dan para pedagang di dalamnya,
sehingga para PKL juga perlu ditata dan dibina seperti halnya dengan pasar
tradisional dan para pedagangnya.
Berikut ini dicoba untuk menelaah
permasalahan pasar tradisional yang peninjuannya berdasarkan pejabat dan
institusinya yang terkai, dimulai dari lapis (layer) di tingkat paling atas
atau pihak-pihak yang memiliki kewenangan yang paling tinggi (pimpinan daerah),
kemudian turun secara hirarkhi, berjenjang ke bawah yakni ke pihak-pihak
(Kepala SKPD dengan jajarannya) yang memilki kewenangan dengan ruang lingkup
yang lebih terbatas.
PASAR
TRADISIONAL LEBIH SEBAGAI PENGHASIL PENDAPATAN ASLI DAERAH
Kepedulian Pimpinan Daerah dan Para
Pejabat di bawahnya terhadap pasar tradisional menentukan kebijakan dan bentuk
organisasi dari instansi (SKPD) yang membidangi pasar tradisional di daerahnya.
Di beberapa daerah, pimpinan daerah meletakkan posisi pasar semata-mata sebagai
salah satu sumber utama. Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang
dipungut dari para pedagang. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh Pimpinan
Daerah (Bupati/Walikota) dan Pejabat Daerah di tingkat bawahnya (Kepala SKPD)
lebih menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan
retribusi pasar, seperti Pengaturan Pemungutan dan Penyetoran Retribusi serta
Administrasi Keuangan (pembukuan) Retribusi semata daripada penekanan pada
pembinaan pasar termasuk di dalamnya pembinaan para pengelola pasar dan
pedagang pasar. Akibat dari adanya kebijakan optimalisasi pemungutan retribusi
tersebut, maka kepada para Kepala Pasar diberikan target-target yang untuk
mencapainya pasar diusahakan sedemikian rupa agar dapat menampung pedagang
dalam jumlah sebanyak mungkin, termasuk mengisi sebagian tempat-tempat kosong
seperti tangga dan lorong-lorong pasar yang seharusnya dibiarkan tetap kosong
tanpa pedagang agar para pengunjung tetap nyaman berlalu lalang.
Dalam situasi di mana peran pasar
lebih ditekankan sebagai salah satu penghasil PAD, maka di beberapa daerah
mendudukan pasar tradisional di bawah Dinas Pendapatan Daerah (DINPENDA).
Karena kompeteinsi utama DINPENDA adalah penghimpun PAD, maka sudah barang
tentu SKPD ini tidak memiliki kompetensi sebagai pembina pasar tradisional.
Pembinaan para pedagang pasar biasanya diserahkan kepada dinas (SKPD) yang
membidangi perdagangan, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Model pembinaan yang melibatkan dua SKPD ini biasanya sulit berjalan dengan
baik, mengingat masalah koordinasi di antara dua SKPD tersebut. Di sini SKPD
pembina pedagang pasar ketika melakukan pembinaan harus merasuk ke dalam unit kerja
pasar tradisional yang secara keorganisasian berada di bawah kewenangan
DINPENDA. Kesulitan dalam melakukan koordinasi ini sudah menjadi sesuatu hal
yang lumrah karena kentalnya ego sektoral yang pada akhirnya masalah ini
menjadi salah satu sebab munculnya stigma buruk yang melekat pada pasar
tradisional sehingga tidak menarik untuk dikunjungi oleh masyarakat konsumen.
Sebenarnya kondisi ini berujung pada berkurangnya jumlah pedagang yang
berjualan di pasar tersebut yang pada akhirnya dapat mengurangi besarnya
retribusi yang dikumpulkan. Pembinaan pasar tradsional yang ideal adalah
mewujudkan terjadinya keseimbangan antara peran pasar sebagai penghasil PAD
dengan sebagai penyedia fasilitas yang memudahkan masyarakat untuk melakukan
jual beli secara ekonomis dan mengikuti tradisi sosial budaya yang berkembang
di daerah setempat.
Dalam praktik yang paling banyak
dijumpai adalah penggabungan antara tugas pembinaan teknis bagi pengelola dan
pedagang pasar dengan penghimpunan retribusi sebagai PAD yang ditangani oleh
satu SKPD yang sering disebut dengan Dinas Pengelolaan Pasar (DPP).
Penggabungan kedua tugas ini tampaknya merupakan jalan tengah, antara di satu
sisi ekstrim yaitu meletakkan peran pasar tradisional sebagai penyumbang PAD
semata dengan di sisi lain yaitu meletakkan peran pasar tradisional untuk
menyediakan tempat bagi masyarakat pedagang dan kalangan masyarakat konsumen
dalam bertransaksi jual beli. Kebijakan pembinaan dengan mengambil jalan tengah
yang menggabungkan kedua tugas seperti ini memang tidak sebaik jika fokus
pembinaan pasar tradisional diserahkan kepada salah satu SKPD yang memang
memiliki kompetensi inti pembinaan pasar dan pedagang.
PERSAINGAN PASAR TRADISIONAL DENGAN PKL
Pembinaan pasar tradisional yang
paling memerlukan upaya paling besar adalah pembinaan pedagang yang berjualan
di pasar tersebut. Dalam pembinaan pedagang pasar tradisional perlu juga
memperhatikan pedagang lain yang berada di sekitar pasar tradisional, terutama
pedagang kaki lima (PKL).
Berdasarkan pengalaman empiris dan
penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian SMERU (2007) terhadap para
pedagang di pasar-pasar tradisional di Bandung dan Jakarta, Bogor, Tangerang,
Depok dan Bekasi (JABODETABEK) diperoleh informasi bahwa salah satu pesaing
utama para pedagang di pasar-pasar tradisional adalah para PKL. Sehingga
keberadaan PKL di sekitar pasar hendaknya diperhatikan benar agar tidak
menyaingi para pedagang pasar, karena mereka banyak yang berjualan menutupi
bagian depan dan jalan masuk ke pasar yang ini menjadikan bagian luar
pasar-pasar tradisional tampak kumuh dan semrawut. Di kebanyakan pasar
tradisional, kondisi seperti ini dibiarkan terus terjadi tanpa solusi,
akibatnya para pembeli tidak perlu masuk ke dalam pasar sehingga memancing para
pedagang yang berjualan di dalam pasar berpindah ke luar meninggalkan lapaknya
yang pada akhirnya keadaan di dalam pasar kosong, sebaliknya di luar pasar
keadaannya padat seperti layaknya pasar tumpah.
Untuk menghindari persaingan antara
pedagang pasar dengan PKL, maka perlu dilakukan penataan dengan menempatkan PKL
ke lokasi yang ditentukan, di mana di tempat yang baru PKL tidak lagi
menyebabkan kekumuhan baru dan tidak menyaingi pedagang pasar tradisional.
Untuk menghindari kesulitan dalam hal koordinasi, maka penanganan permasalahan
(penataan dan pembinaan) pedagang pasar tradisional dan PKL sudah seyogyanya
dilakukan di bawah satu atap (satu SKPD). Di kebanyakan Pemerintah
Kabupaten/Kota, SKPD yang menangani pembinaan pedagang pasar tradisional dan
PKL adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) (dan Pasar). Mengingat SKPD ini tidak saja bertugas membina
pedagang, tetapi juga membina para pelaku di sektor industri industri terutama
yang berskala usaha mikro, kecil dan menengah serta sektor koperasi, maka
pembinaan pasar tradisional, pedagang pasar dan PKL hanya ditangani oleh
pejabat setingkat Eselon III (Kepala Bidang), bahkan dengan lingkup
masing-masing yang lebih sempit hanya ditangani oleh pejabat setingkat Eselon
IV. Di sini kewenangan pejabat tersebut terbatas, mengingat dalam praktik,
pengelolaan pasar tradisional banyak melibatkan kewenangan SKPD/instansi lain,
seperti di bidang perparkiran, kebersihan, keamanan dan ketertiban, kesehatan,
lingkungan hidup, perlindungan konsumen, dan kemetrologian (tertib ukur).
Demikian juga, banyak pihak yang terlibat dalam penataan dan pembinaan PKL,
seperti yang berkaitan dengan penataan wilayah/kota, keamanan dan ketertiban,
kebersihan, serta perdagangan eceran.
Penanganan permasalahan Pedagang Pasar
Tradisional dan PKL yang dirasakan paling ideal apabila ditangani oleh Dinas
Pengelolaan Pasar atau Dinas Pasar (DPP) dimana di dalam struktur SKPD ini
terdapat Bidang yang menangani Pasar Tradisional termasuk pedagang tradisional
di dalamnya dan Bidang yang khusus menangani PKL. Di sini Kepala Bidang yang
menangani Pasar Tradisional dan Kepala Bidang yang menangani PKL dapat saling
berkoordinasi dalam menangani kedua kelompok pedagang ini di bawah kendali
Kepala DPP sebagai koordinator, sehingga kedua pedagang pasar tradisional tidak
diganggu oleh keberadaan PKL dan kemudian PKL sedikit demi sedikit diarahkan
menjadi pedagang pasar tradisional.
Ada pula daerah yang tidak menjadikan
PKL sebagai para pedagang yang harus dibina, sehingga dapat diaktakan bahawa
keberadaannya sama sekali tidak dikehendaki oleh Pemerintah Daerah yang
bersangkutan. Di sini Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) diwajibkan
menertibkan PKL dan sekaligus melakukan pembinaan dalam hubungannya dengan
kemudahan untuk penertiban, bukan pembinaan yang berkaitan dengan pembinaan
kegiatan usaha di lokasi tetap. Di sini PKL selalu dianggap menjadi masalah
tanpa memperhatikan bahwa keberadaannya selain dibutuhkan masyarakat konsumen
juga menjadi tempat penampungan pekerja informal, karena keterbatasan daya
tampung lapangan kerja formal di daerah yang bersangkutan. Sudah barang tentu,
pengerahan SATPOL PP dalam penertiban PKL tidak serta merta persaingan antara
Pasar Tradisional dengan PKL dapat terselesaikan, karena proses penertiban
hanya menghasilkan ketertiban PKL yang semu (melarang PKL berdagang di suatu
tempat) dan berjangka pendek, di lain pihak umumnya jumlah PKL akan bertambah
terus dan membutuhkan tempat berdagang yang semakin luas.
PEMBINAAN
PASAR TRADISIONAL
Pemahaman tentang aktivitas
pengelolaan pasar dan perdagangan eceran (ritel) mutlak harus dimiliki oleh
aparatur dinas yang ditugasi membinan pasar tradisional termasuk di dalamnya
pedagang pasar. Dalam merancang kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang
diterbitkan dalam Peraturan Daerah (PERDA) serta peraturan dan pedoman
pelaksanaan harus didasarkan atas pemahaman tentang pengelolaan (manajemen)
pasar dan perdagangan eceran (ritel). Selanjutnya dalam pelaksanaan peraturan dan
pedoman pelaksanaan tersebut seyogyanya para aparatur pelaksana mulai di
tingkat SKPD (dinas yang membidangi pasar) hingga di tingkat pengelola pasar
seyogyanya juga memahami hal-hal yang mendasar tentang pengelolaan pasar dan
perdagangan eceran. Tentunya tingkat pemahaman yang seyogyanya harus dimiliki
oleh masing-masing aparatur tersebut berbeda-beda tergantung pada posisi dan
sifat tugas aparatur yang bersangkutan.
Agar para aparatur dapat melaksanakan
peraturan dan pedoman tersebut dengan baik, maka sebelumnya kepada mereka
diberikan pelatihan secara berjenjang tentang pengelolaan pasar dan perdagangan
eceran. Selanjutnya kepada para aparatur yang telah dilatih, kepada mereka
diberikan kesempatan untuk bekerja di bidang-bidang sesuai dengan pengetahuan
yang telah diperolehnya sampai waktu yang dirasakan cukup untuk dapat
menerapkan pengetahuan tersebut dan diharapkan pengelolaan pasar dan pedagang
pasar dapat beraktivitas mengikuti peraturan dan pedoman dengan tertib dan konsisten
serta berkesinambungan.
Perdagangan eceran (ritel) merupakan
salah satu bagian dari disiplin ilmu pemasaran yang seringkali kurang dipahami
oleh aparatur dari SKPD yang membidangi perdagangan dan pasar, termasuk di
dalamnya pasar moderen dan pasar tradisional serta perdagangan eceran. Dalam
praktik banyak dijumpai dalam praktik para aparatur yang bekerja di bidang ini
tidak memahami tentang pengetahuan dasar pemasaran yang sebenarnya sangat
diperlukan ketika mereka bekerja. Sehingga banyak kebijakan, peraturan
pelaksanaan, pedoman, petunjuk operasi sebagai upaya pembinaan pasar
tradisional serta pedagang pasar dan PKL di mana para aparatur tersebut
terlibat penyiapan dan pelaksanaannya, tidak dapat dilaksanakan dengan optimal.
Akibatnya, banyak pasar-pasar tradisional berstigma negatif seperti kumuh,
kotor, semrawut, bau, sampah berceceran di mana-mana dan seterusnya.
Dalam merancang kebijakan pembinaan
pedagang tradisional dan PKL dalam bentuk penguatan daya saing di satu sisi dan
menghambat beroperasinya pasar moderen sampai pada suatu saat pasar tradisional
mampu bersaing di sisi lain, diperlukan pemahaman tentang ilmu pemasaran
(marketing) merupakan hal mutlak di samping ilmu sosial lain yang terkait.
Pertimbangan lokasi pasar dan kawasan
penempatan PKL misalnya, perlu didasari oleh kebijakan tentang pengaturan
pendirian pasar moderen serta kebijakan tentang revitalisasi pasar tradisional
dan relokasi PKL ke lokasi yang ditetapkan. lokasi adalah salah satu unsur
"P" (Place) dalam "bauran pemasaran" (marketing mix) yang dikenal
dengan "Empat P" (Product, Place, Price dan Promotion).
Para pedagang perlu mengetahui ilmu
tentang dasar-dasar promosi khususnya mendisplai barang dagangan agar mereka
mampu menata dagangan yang menarik calon pembeli, seperti menempatkan
produk-produk tertentu sedemikian rupa agar Perlu diketahui bahwa kebanyakan
para pengunjung pasar, ketika membeli barang terutama barang-barang sekunder,
seperti pakaian dan tas, untuk berbagai camilan untuk makanan, seringkali
dipengaruhi oleh emosinya (impuls buying). Sehingga penataan (displai) barang
yang menarik, seringkali membangkitkan emosi untuk membeli, sekalipun pembelian
ini tidak direncanakan ketika akan berangkat ke pasar. Diakui bahwa terjadinya
pembelian yang tidak terencana ini juga sangat dipengaruhi oleh daya beli para
pengunjung pasar sebagai konsumen. Semakin kuat daya beli konsumen, maka
kemungkinan terjadinya pembelian yang tidak terencana sebelumnya semakin kuat.
Oleh karenanya, para pedagang setidaknya sepintas perlu memahami karakter dan kemampuan
untuk membeli yang dimiliki oleh para pengunjung pasar yang menjadi
pelanggannya.
Para pedagang terbiasa
menyimpam/menimbun barang dagangan yang bersifat tahan lama melebihi kemampuan
menjual selama periode tertentu. Kebanyakan pedagang cenderung banyak membeli
(kulakan) barang dagangan tahan lama pada saat harga murah dan persediaan
berlimpah, kemudian disimpan entah sampai kapan. Kemudian, mereka merasa
kegiatan usahanya akan lebih aman apabila memiliki barang dagangan dibanding
memegang uang kontan, karena persediaan barang dagangan yang berlimpah
diperlukan untuk berjaga-jaga jika seandainya ada pembeli secara tiba-tiba
membutuhkannya dalam jumlah besar yang sebenarnya berdasar pengalaman jarang
terjadi. Di satu sisi hal ini mengakibatkan ada barang dagangan yang menjadi
kedaluwarsa akibat prinsip First in First out (FIFO) sulit dijalankan karena
penimbunan persediaan/stock barang yang peletakkannya sembarangan tidak
dilakukan secara sistematis berdasarkan periode pengadaan melainkan
ditumpuk-tumpuk seadanya. Di sisi lain, pasar menjadi tampak kumuh karena penuh
dengan tumpukan barang-barang milik pedagang sebagai persediaan barang
dagangan. Apabila peletakkan barang dilakukan dengan menumpuk-numpuk hingga
tinggi ke plafon, maka sirkulasi udara segar menjadi tidak lancar dan sinar
dari cahaya matahari atau lampu penerangan terhalang yang akibatnya los dan
lorong/gang pasar menjadi pengap (panas) dan gelap sehingga keadaan pasar
menjadi tidak nyaman. Kelemahan ini dapat diatasi dengan memberikan pengetahuan
tentang "merchandising" sederhana kepada para pedagang, sehingga
mereka mengetahui tentang periodesasi pengadaan dan penimbunan stock barang
dagangan (inventory) yang efisien dan ekonomis serta aman bagi kelancaran
aktivitas usaha. Di sini para pedagang perlu memahami kebiasaan para
pelanggannya kapan membeli dalam jumlah besar atau jumlah yang normal, dan
berapa besarnya jumlah pembelian. Selain itu, juga perlu memahami kapan
waktunya sulit untuk mendapatkan pasokan. Dengan memahami kondisi kebutuhan dan
pasokan tersebut, para pedagang dapat memperkirakan besarnya persediaan barang
dagangan yang harus disediakan berdasarkan periode penjualan. Persediaan barang
dagangan ini ekonomis, efisien dan aman bagi kelangsungan usaha.
Agar para pedagang tradisional dapat
memahami cara untuk mengatasi kelemahan-kelamahan di muka, maka pihak pengelola
pasar sebagai pembina perlu mensosialisasikan pengetahuan tentang pemasaran dan
merchandising sederhana kepada para pedagang. Untuk itu, kepada pihak pengelola
pasar harus terlebih dahulu diberikan pengetahuan dimaksud terlebih dahulu,
atau dapat juga dilakukan dengan menggunakan jasa konsultan dari pihak ketiga,
namun jangan sepenuhnya dilakukan oleh pihak ketiga, karena dibatasi oleh
kontrak kerja dalam jangka waktu tertentu.
REVITALISASI
PASAR TRADISIONAL
Kebijakan Pemeerintah dan Pemerintah
Daerah dalam merevitalisasi pasar tradisional masih lebih menekankan pada
perbaikan (renovasi) phisik bangunan pasar. Masih sangat jarang yang disertai
dengan pembangunan kelembagaan (institutional building) seperti mengembangkan
organisasi (organizational development) pengelola dan pembina pasar
tradisional, termasuk di dalamnya pengembangan sistem manajemen pasar beserta
sumber daya manusia (SDM) yang terlibat serta pedagang pasar.
Berdasarkan pengalaman empiris di
banyak kabupaten dan kota, setelah dilakukan renovasi atau pembangunan kembali
bangunan pasar selama kurun waktu 3-5 tahun kemudian, bangunan pasar yang telah
direnovasi atau dibangun kembali beserta pengelolaan pasarnya tampak kembali
semrawut serta kondisi pasar kembali kumuh dan kotor sama keadaannya seperti
sebelum dilakukan renovasi atau pembangunan kembali pasar. Terlebih lagi,
setelah direnovasi atau pembangunan kembali bangunan pasar, kegiatan perawatan
atau pemeliharaan sangat minimal dilakukan dengan alasan keterbatasan anggaran
daerah. Hal ini terjadi karena kebijakan revitalisasi pasar tradisional masih
hanya sebatas menyentuh bangunan phisik pasar semata yang seringkali kurang
diikuti dengan aktiviast perawatan atau pemeliharaan bangunan phisik pasar.
Mulai tahun 2012, Kementerian
Perdagangan memberikan bimbingan teknis kepada para pedagang bersama para
pengelola pasar tradisional tentang cara berjualan yang baik, seperti
mengupayakan dan memelihara kebersihan pasar, cara berdagang yang baik dengan
penataan barang dagangan yang menarik pembeli dan pengelolaan pasar. Kegiatan
ini masih difokuskan pada pasar-pasar tradisional yang telah direvitalsasi pada
tahun lalu, seperti Pasar Grabag di Kabupaten Purworejo, Pasar Cokrokembang di
Kabupaten Klaten dan Pasar Minulyo di Kabupaten Pacitan.
Selain dibangun oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, pembangunan bangunan pasar juga dilakukan oleh pihak swasta,
di mana pihak swasta bertindak sebagai pihak pengembang yang berhak menjual
kios-kios di lokasi tertentu, biasanya di bagian bangunan pasar yang menghadap
ke luar, baik di lantai dasar maupun di lantaui atas apabila bangunan pasar
tersebut merupakan pasar yang bertingkat. Sedangkan pihak Pemerintah Daerah
bertindak sebagai pengelola pasar yang bersangkutan ketika telah selesai
direnovasi. Namun di beberapa daerah, pihak swasta yang bertindak sebagai
pengembang juga diserahi untuk mengelola pasar setelah selesai direnovasi
dengan cara pengelolaan swasta yang biasanya lebih profesional dibanding dengan
pengelolaan oleh Pemerintah Daerah, sehingga pasarnya tampak lebih rapi, bersih
dan nyaman.
Pembangunan yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan pihak swasta biasanya menghasilkan
bangunan pasar yang lebih besar, bertingkat dan tampak megah. Seringkali pada
saat merencanakan bangunan pasar yang baru tidaklah terlalu rinci
mempertimbangkan jumlah pedagang yang akan berdagang dan jumlah pembeli yang
akan dilayani di pasar yang baru nanti. Pengembang berpandangan bahwa apabila
dibangun pasar yang lebih besar, lebih baik dan lebih megah, maka pasar
tersebut akan semakin ramai karena lebih banyak pengunjung atu pembeli.
Pengembang kurang memperhitungkan bahwa ada tempat berbelanja lain yang sudah
terlebih dahulu beroperasi yang menarik banyak pengunjung, Di sini pengembang
dan pengelola pasar harus menjadikan pasar tradisional yang baru tersebut lebih
menarik untuk dikunjungi dibanding dengan pasar lain termasuk pasar moderen
yang sudah terlebih dahalu ada.. Seringkali upaya ini gagal sehingga pasar
tradisional yang baru tersebut tampak kosong, sepi pengunjung dan sebagaian
dari para pedagang menutup kegiatan usahanya.
Permasalahan revitalisasi sebenarnya
muncul sejak awal pada saat penjualan kios atau lapak bagi para calon pedagang
yang baru. Penjualan kios oleh pihak pengembang bersifat jual putus di mana
pihak pengembang tidak lagi berwenang menentukan jenis barang dagangan setelah
kios tersebut dijual ke pedagang. Permasalahan muncul ketika kios atau lapak
yang sudah dibeli oleh pihak pertama dijual kembali ke pedagang lain yang jenis
dagangannya berbeda dengan barang dagangan yang sudah ditentukan untuk zona di
mana kios atau lapak tersebut berada. Inilah yang menjadi salah satu sumber
ketidaktertiban zonanisasi barang dagangan di banyak pasar tradisional pada
dewasa ini. Untuk mencegah terjadinya hal ini, maka setiap peralihan hak milik
kios atau lapak harus sepengetahuan pihak pengelola pasar. Apabila jenis
dagangan dari pedagang yang bertindak sebagai pembeli kios atau lapak berbeda
dengan jenis barang dagangan yang ditetapkan untuk zona yang bersangkutan, maka
perpindahan tangah sebaiknya tidak diteruskan.
Di banyak kabupaten dan kota,
kepemilikan lapak atau kios pasar tradisional yang telah direnovasi atau
dibangun kembali oleh seseorang dapat lebih dari satu lapak atau kios, sekalipun
sebenarnya ia hanya membutuhkan satu lapak atau kios. Sedangkan sisa lapak atau
kios yang sudah dimiliknya disewakan atau dijual kembali. Di sini pedagang
tersebut seolah-olah bertindak sebagai investor yang kebetulan memiliki dana
berlebih dan atau memiliki hak istimewa (privilige). Berdasarkan pengalaman
empiris di lapangan, hal ini seringkali menjadi salah satu penyebab banyaknya
jumlah kios yang tidak beroperasi di pasar-pasar tradisional yang telah selesai
direnovasi atau dibangun kembali dan mulai beroperasi kembali.
Sebagaian dari pemilki kios baru
kemungkinan sebelumnya adalah pemilik lapak di los pasar atau pemilik warung di
luar pasar (di rumah-rumah penduduk di sekitar pasar) atau ex PKL di sekitar
pasar. Bagi para ex PKL, perpindahan operasi ke lapak pasar seringkali
menimbulkan masalah pada pasar tradisional, terutama dalam hal kebersihan pasar
dan ketidakterarturan penataan barang dagangan. Mereka harus menyesuaikan diri
dengan peraturan tentang ketertiban dan kebersihan pasar. Mereka harus
mengikuti jam operasi pasar yang sudah ditentukan. Dalam mendisplai barang
dagangannya mereka harus mengikuti aturan tidak boleh menjorok jauh ke depan,
sehingga mengurangi lebar gang atau lorong tempat pengunjung berjalan dan tidak
boleh terlalu banyak menimbun barang dagangan (stock) yang melebihi daya
tampung lapaknya.
Sebaiknya, untuk menhindari kegagalan
program revitalisasi pasar tradisional, maka pada saat peerencanaan pembangunan
perlu dipikirkan kapasitas pasar yang akan dibangun harus sesuai dengan jumlah
pedagang yang sekarang ada, kemungkinan penambahan jumlah pedagang yang
sekarang ada, serta jumlah dan segmen konsumen yang akan berbelanja di pasar
tersebut. Seringkali dijumpai banyak keluhan dari pedagang yang sudah berdagang
sejak di psar lama, ketika berpindah ke pasar yang sudah direnovasi ukuran kios
dan lapak yang diperolehnya menjadi berkurang atau lebih kecil dengan alasan
bahwa banyak pedagang baru yang harus ditampung. Kondisi ini menjadi alasan
para pedagang untuk menata barang dagangannya melonjak ke luar lapak atau kios
melonjak dari batas yang diperkenankan. Akibatnya gang/lorong di los-los pasar
menjadi sempit dan tidak nyaman untuk para pembeli berlalu lalang di pasar.
Selanjutnya, juga perlu dipikirkan
persiapan calon pengelola pasar (manajemen pasar) yang akan ditugasi mengelola
pasar yang baru. Sebaiknya kepada mereka sejak awal diberikan pelatihan tentang
manajemen pasar dan diwajibkan menyusun sendiri serangkaian prosedur kerja dan
pengawasan pekerjaan di bawah bimbingan pihak yang berkompeten dalam manajemen
pasar. Pelatihan dan penyusunan prosedur kerja dan pengawasan pekerjaan ini
dilakukan pada saat aktivitas renovasi atau pembangunan pasar yang baru sedang
berlangsung. Pengetahuan yang telah diperoleh serta prosedur kerj dan
pengawasan pekerjaan yang telah dibuat, hendaknya dipratikan di lingkungan pasar
di penempatan sementara selama bangunan pasar sedang direnovasi atau dibangun
kembali, agar mereka terbiasa bekerja dengan menggunakan sistem.
Kepada para pedagang yang mendiami
lokasi pasar sementara, diperkenalkan pengetahuan sederhana tentang perdagangan
eceran mencakup merchandising seperti merencanakan pembelian (kulakan) barang
dan persedian (merencanakan stock), sortasi dan pengemasan, penataan dan
penyimpanan barang secara sistematis sesuai dengan prinsip FIFO serta
pengetahuan tentang manajemen keuangan sederhana. Sama halnya dengan pelatihan
bagi calon pengelola pasar, kegiatan bagi para pedagang tersebut juga dilakukan
pada saat renovasi atau pembangunan pasar yang baru sedang berlangsung.
Selanjutnya, sejak awal kepada para
pedagang juga diperkenalkan tentang penanganan kebersihan yaitu setiap pedagang
diwajibkan memiliki tempat sampah sementara di lapak atau kiosnya
masing-masing, bisa berbentuk kantung plastik atau tempat sampah dari plastik
yang sedapat mungkin sudah memisahkan sampah organik dan anorganik. Setiap
kantung sampah tersebut penuh dibuang ke tempat sampah yang terletak di gang
atau lorong dekat lapak atau kiosnya. Tujuan untuk memisahkan sampah organik
dan anorganik adalah untuk persiapan apabila sampah-sampah tersebut diolah menjadi
kompos yang ini harus sudah dipikirkan sejak jauh-jauh hari. Selain itu,
pedagang juga diwajibkan untuk bertanggung jawab terhadap kebersihan di lokasi
sekitar setiap lapak atau kiosnya. Kepada setiap pedagang diajarkan untuk
mematuhi batas tempat yang diijinkan berjualan sehingga tidak mengurangi lebar
gang di losnya masing-masing. Dengan melibatkan pedagang dalam hal kebersihan
dan ketertiban pasar, maka beban pihak pengelola pasar menjadi lebih ringan.
Apabila kebiasaan-kebiasaan seperti ini sudah ditanamkan sejak dini, khususnya
pada pasar yang sedang direnovasi atau dibangun kembali, maka diharapkan
kebiasaan-kebiasaan ini akan terus berlanjut di pasar yang baru.
Pada saat pasar yang baru akan mulai
beroperasi, masalah yang terpelik adalah pembagian lapak dan kios. Di sini
perlu dilibatkan calon pengelola pasar yang baru, karena pengalaman empiris
menunjukkan bahwa para pengelola pasar merasa tidak tahu menahu tentang
pembagian lapak atau kios pada saat pasar yang baru akan mulai beroperasi. Para
pengelola pasar yang baru pada umumnya hanya ditugasi menjalankan pengelolaan
pasar, sehingga ketika pasar yang baru sudah berjalan kemudian terjadi
ketidakdisiplinan zonanisasi pedagang, pihak pengelola cenderung membiarkan
atau tidak mau bertanggung jawab, karena merasa tidak dilibatkan awal
pembentukan zona pedagang berdasarkan jenis barang dagangan. Padahal
ketidaktertiban zonanisasi pedagang merupakan titik awal mulai terjadinya
kesemerawutan pasar tradisional.
MANAJEMEN PASAR TRADISIONAL
Keterbatasan kemampuan manajerial
pengelola pasar tradisional mempengaruhi kondisi pasar yang bersangkutan,
bahkan hal ini menjadi salah satu penyebab utama melekatnya stigma negatif yang
kini melekat di pasar-pasar tradisional pada umumnya. Berdasarkan pengalaman empiris
di 30 Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah, pasar-pasar tradisional yang memiliki
tingkat kebersihan, keamanan dan kenyamanan yang tinggi biasanya memiliki Tim
Pengelola Pasar dengan organisasi yang berstruktur lengkap dengan pedoman kerja
jelas dan cukup rinci. Selain itu pengelola pasar tersebut juga secara intensif
dibina dan disupervisi oleh SKPD yang membidangi pasar tradisional dan pedagang
(pedagang pasar dan PKL), dengan perkataan lain pasar tradisional tidak semata
difungsikan sebagai pengkontribusi PAD.
Seringkali Kepala Pasar memiliki
keterbatasan wewenang (otoritas) dalam mengelola pasar tradisonal yakni
menghadapi petugas-petugas yang berada di bawah kendali SKPD lain di luar SKPD
yang mebidangi pasar dan pedagang, seperti petugas-petugas yang menangani
perparkiran, kebersihan dan pertamanan, pembangunan dan perawatan sarana dan
prasarana (bangunan, fasilitas air bersih, listrik, pengolahan sampah dan air
limbah), dan juga terkadang yang menangani ketertiban PKL. Di sini peran SKPD
pembina sangat diperlukan untuk berkoordinasi dengan SKPD lain yang terkait.
Bentuk organisasi pengelola pasar juga
seringkali menentukan efektivitas pengelolaan pasar tradisional. Di beberapa
kabupaten/kota bentuk organisasi pengelola adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah
(UPTD) yang membawahi lebih dari satu pasar ( tiga atau empat pasar).
Seringkali kemampuan manajerial Kepala UPTD tidak seimbang dengan jumlah pasar
yang harus dikelolanya, sehingga terkesan pasar-pasar tersebut sebatas sebagai
unit sumber PAD.
Di beberapa kota, organisasi pengelola
pasar tradisional berbentuk Perusahaan Daerah (PERUSDA) seperti di DKI Jakarta,
Surabaya dan Bogor. PERUSDA biasanya memiliki kemampuan manajemen yang lebih
baik dibanding pihak-pihak penngelola pasar ttradisional di bawah SKPD yang
membidangi pasar. Namun tampaknya kemampuan dalam membina para pedangan di
pasar-pasar tersebut masih lemah, sehingga ciri kekumuhan pasar-pasar
tradisional di bawah PERUSDA masih terlihat.
PENUTUP
Pembinaan pasar tradisional memerlukan
upaya terintegrasi, mulai di tingkat kebijakan hingga di tingkat operasional.
Setiap tingkat memerlukan bentuk-bentuk pembinaan yang saling terkait satu
bidang dengan bidang lain. Sebagai contoh, pembinaan pasar tradsional beserta
pedagang pasar dan PKL di tingkat operasional merupakan kelanjutan dari
kebijakan Pemerintah Daerah yang tertuang dalam Peraturan Daerah (PERDA)
beserta peraturan pelaksanaannya. Pembinaan di tingkat operasional diwujudkan
dalam bentuk pembinaan manajemen pasar tradisional dan pedagang pasar serta
pembinaan PKL dan lingkungannya, ketertiban perparkiran, penataan jalur
angkutan kota, penataan tempat pejalan kaki (pedesterian), dan kawasan wisata
kuliner. Keterkaitan dengan bidang-bidang lain inilah yang seringkali kurang
diperhatikan, sehingga penanganan masalah bersifat parsial, hasilnya kurang
maksimal karena kurang dapat menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.
Mengingat kondisi pasar tradisional
yang seperti ini sudah berlangsung sejak lama, maka perlu kebijakan dan
tindakan yang konsisten serta berkesinambungan yang tidak bisa mengharapkan
hasilnya segera tampak. Perbaikan yang harus dilakukan harus menyentuh
perubahan perilaku masyarakat (aparatur dan petugas serta pedagang dan
pengunjung pasar) yang ini memerlukan banyak contoh yang dapat dimulai dengan
bentuk-bentuk pilot project.
Berdasarkan pengalaman empiris di
banyak daerah, keberhasilan pembinaan pasar dan pedagang pasar tradisonal
sangat ditentukan oleh kepedulian para Kepala Daerah (Bupati dan Walikota) yang
diikuti oleh para pejabat di tingkat teknis. Pengalaman empiris menunjukkan
bahwa kebijakan Kepala Daerah yang menetapkan pasar sebagai salah satu sumber
PAD tanpa diikuti dengan pengembalian pendapatan ke pasar secara signifikan
sebagai tambahan biaya operasional dan perawatan/pemeliharaan serta biaya
pembinaan bagi pengelola dan pedagang pasar, maka hal ini menjadi penyebab
utama kondisi pasar-pasar tradisional memiliki ber-stigma negatif seperti
kumuh, semrawut, kotor, dan tidak nyaman dikunjungi oleh masyarakat konsumen.