Dampak dari hal yang dikemukakan, menurut survei AC Nielsen
pada tahun 2004 didapatkan data bahwa pertumbuhan pasar modern 31,4% dan pasar
tradisional bahkan minus 8,1%. Hal ini menunjukkan adanya masalah yang dihadapi
pasar tradisional sebagai wadah utama penjualan produk-produk kebutuhan pokok
yang dihasilkan oleh para pelaku ekonomi skala menengah kecil.
Pasar tradisional selama ini kebanyakan terkesan kumuh,
kotor, semrawut, bau dan seterusnya yang merupakan stigma buruk yang
dimilikinya. Namun demikian sampai saat ini di kebanyakan tempat masih memiliki
pengunjung atau pembeli yang masih setia berbelanja di pasar tradisional.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak juga pasar tradisional yang dalam
perkembangannya menjadi sepi, ditinggalkan oleh pengunjung atau pembelinya yang
beralih ke pasar moderen.
LATAR BELAKANG
Pasar sebagai suatu bentuk pelayanan umum tempat terjadinya
transaksi jual beli barang bagi masyarakat, merupakan salah satu cerminan
perekonomian dan sosial budaya setiap komunitas di dunia ini. Seiring dengan
perkembangan zaman, dari waktu ke waktu pasar mengalami evolusi bentuk tempat
dan cara pengelolaannya, dari yang bersifat tradisional menjadi modern.
Perkembangan tempat perbelanjaan di kota-kota di dunia, baik di negara-negara
Barat maupun Asia, semuanya melalui tahapan-tahapan, mulai dari pasar tradisional,
yang kemudian mengalami proses modernisasi menjadi toserba (toko serba ada),
jaringan toko, shopping center, department store, supermarket. Proses
modernisasi ini tidak terlepas dari perubahan pola demografi, spesialisasi dan
diversifikasi profesi, serta struktur sosial ekonomi dan perubahan budaya
masyarakat (West, 1994).
Pada satu sisi keberadaan pasar-pasar modern
(plaza/supermarket) tidak dapat diabaikan seiring dengan perkembangan dan
perubahan perilaku konsumtif masyarakat, namun pada sisi lain keberadaan pasar
tradisional sebagai tuntutan masyarakat kebanyakan juga tidak bisa
dipinggirkan. Situasi yang serba bertolak belakang ini senantiasa berdampak
pada terjadinya tarik menarik (trade off) antara pasar modern dengan pasar
tradisional.
Keberadaan pasar tradisional di era modern seperti sekarang
ini tidak saja masih dibutuhkan, tetapi juga tidak dapat dipisahkan dari sistem
kehidupan masyarakat Indonesia. Kondisi ini disebabkan karena pada sebagian
besar masyarakat Indonesia masih banyak yang belum memahami manfaat dari
perkembagan ilmu dan teknologi, misalnya berbelanja melalui internet. Sampai
saat ini menurut Basalah pasar tradisional masih dominan peranannya di
Indonesia dan masih sangat dibutuhkan keberadaannya, terutama bagi masyarakat
kelas menengah ke bawah. Menurut Geertz di dalam pasar tradisional tekanan
terpenting dalam persaingan bukanlah antara kegigihan penjual dengan penjual
lainnya, tetapi persaingan antara kegigihan penjual dengan calon pembeli dalam
melakukan proses tawar menawar (Narwoko&Bagong, 2004 : 281) Manusia adalah
mahluk homo economics yang selalu ingin memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Karena itu kalau
membeli barang selalu akan memilih yang manfaatnya terbesar dengan harga
tertentu atau harganya termurah.
Penjual yang ingin memperoleh harga yang inggi, barangnya
tidak akan laku, karena langsung disaingi sehingga terpaksa harus menurunkan
harganya. Kebutuhan dan keinginan pembeli yang bervariasi merupakan pedoman
bagi pedagang dalam melaksanakan usahanya. Pembeli biasanya memperlihatkan
preferensi dan prioritas barang yang berbeda-beda. Mereka pada umumnya
menginginkan produk dan jasa yang memuaskan kebutuhan mereka dengan harga yang
besaing. Perbedaan-perbedaan inilah yang menciptakan segmen pasar bagi para
pembeli. Perilaku pembeli merupakan tindakan-tindakan individu yang secara
langsung terlibat dalam usaha memperoleh, menggunakan, dan menentukan produk
dan jasa, termasuk dalam proses pengambilan keputusan yang mendahului dan
mengikuti tindakan-tindakan tersebut (Setiadi, 2003 : 93)
Pada umumnya setiap pembeli selalu menginginkan
barang-barang yang berkualitas tinggi dengan harga yang murah dan suasana
berbelanja yang nyaman, bersih dan tersedia berbagai fasilitas yang dibutuhkan
pembeli seperti transaksi elektronik (ATM dan kartu kredit) dan tersedianya
tempat parkir yang luas. Kesemua fasilitas tersebut tentunya terdapat di pasar
modern. Memuaskan pembeli adalah merupakan kunci sukses dalam melaksanakan
bisnis perdagangan. Berbagai tanggapan dari pelanggan perlu diterima sebagai
masukan yang berguna bagai pemgembangan suatu perdagangan, oleh karena itu
pedagang dalam mencapai tujuannya tersebut harus mengetahui apa yang diinginkan
dan yang dibutuhkan oleh pembelinya. Namun tidaklah mudah bagi pedagang untuk
mengenal watak dan prilaku dari pembelinya, karena bisa jadi apa yang
diungkapkan itu bertolak belakang dengan sebenarnya.
PENGERTIAN PASAR DAN PASAR TRADISIONAL
Pasar adalah salah satu dari berbagai sistem, institusi,
prosedur, hubungan sosial dan infrastruktur dimana usaha menjual barang, jasa
dan tenaga kerja untuk orang-orang dengan imbalan uang. Barang dan jasa yang
dijual menggunakan alat pembayaran yang sah seperti uang fiat. Kegiatan ini
merupakan bagian dari perekonomian. Ini adalah pengaturan yang memungkinkan
pembeli dan penjual untuk item pertukaran. Persaingan sangat penting dalam
pasar, dan memisahkan pasar dari perdagangan. Dua orang mungkin melakukan
perdagangan, tetapi dibutuhkan setidaknya tiga orang untuk memiliki pasar,
sehingga ada persaingan pada setidaknya satu dari dua belah pihak. Pasar
bervariasi dalam ukuran, jangkauan, skala geografis, lokasi jenis dan berbagai
komunitas manusia, serta jenis barang dan jasa yang diperdagangkan. Beberapa
contoh termasuk pasar petani lokal yang diadakan di alun-alun kota atau tempat
parkir, pusat perbelanjaan dan pusat perbelanjaan, mata uang internasional dan
pasar komoditas, hukum menciptakan pasar seperti untuk izin polusi, dan pasar
ilegal seperti pasar untuk obat-obatan terlarang.
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan
pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung
dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios
atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu
pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan
makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang
elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan
barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia,
dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk
mencapai pasar. Beberapa pasar tradisional yang "legendaris" antara
lain adalah pasar Beringharjo di Yogyakarta, pasar Klewer di Solo, pasar Johar
di Semarang. Pasar tradisional di seluruh Indonesia terus mencoba bertahan
menghadapi serangan dari pasar modern.
pasar tradisional
MASALAH PASAR TRADISIONAL
Maraknya pembangunan pasar modern seperti hypermarket dan
supermarket telah menyudutkan pasar tradisional di kawasan perkotaan, karena
menggunakan konsep penjualan produk yang lebih lengkap dan dikelola lebih
profesional. Kemunculan pasar modern di Indonesia berawal dari pusat
perbelanjaan modern Sarinah di Jakarta pada tahun 1966 dan selanjutnya diikuti
pasar-pasar modern lain (1973 dimulai dari Sarinah Jaya, Gelael dan Hero; 1996
munculnya hypermarket Alfa, Super, Goro dan Makro; 1997 dimulai peritel asing
besar seperti Carrefour dan Continent; 1998 munculnya minimarket secara
besar-besaran oleh Alfamart dan Indomaret; 2000-an liberalisasi perdagangan
besar kepada pemodal asing), serta melibatkan pihak swasta lokal maupun asing.
Pesatnya perkembangan pasar yang bermodal kuat dan dikuasai oleh satu manajemen
tersebut dipicu oleh kebijakan pemerintah untuk memperkuat kebijakan penanaman
modal asing.
pasar modern
Dampak dari hal yang dikemukakan, menurut survei AC Nielsen
pada tahun 2004 didapatkan data bahwa pertumbuhan pasar modern 31,4% dan pasar
tradisional bahkan minus 8,1%. Hal ini menunjukkan adanya masalah yang dihadapi
pasar tradisional sebagai wadah utama penjualan produk-produk kebutuhan pokok
yang dihasilkan oleh para pelaku ekonomi skala menengah kecil.
Pasar tradisional selama ini kebanyakan terkesan kumuh,
kotor, semrawut, bau dan seterusnya yang merupakan stigma buruk yang
dimilikinya. Namun demikian sampai saat ini di kebanyakan tempat masih memiliki
pengunjung atau pembeli yang masih setia berbelanja di pasar tradisional.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak juga pasar tradisional yang dalam
perkembangannya menjadi sepi, ditinggalkan oleh pengunjung atau pembelinya yang
beralih ke pasar modern.
kondisi pasar tradisional yang kotor dan sempit
Melekatnya stigma buruk pada pasar tradisional, seringkali
mengakibatkan sebagian dari para pengunjung mencari alternatif tempat belanja
lain, di antaranya mengalihkan tempat berbelanja ke pedagang kaki lima dan
pedagang keliling yang lebih relatif mudah dijangkau (tidak perlu masuk ke
dalam pasar). Bahkan kebanyakan para pengunjung yang tergolong di segmen
berpendapatan menengah bawah ke atas cenderung beralih ke pasar moderen,
seperti pasar swalayan (supermarket dan minimarket) yang biasanya lebih
mementingkan kebersihan dan kenyamanan sebagai dasar pertimbangan beralihnya
tempat berbelanja.
Seringkali dikesankan bahwa perilaku pedagang yang menjadi
penyebab utama terjadinya kondisi di kebanyakan pasar tradisional memiliki
stigma buruk. Sebaliknya, di lapangan di lapangan dijumpai peran pengelola
pasar terutama dari kalangan aparatur pemerintah dalam mengupayakan perbaikan
perilaku pedagang pasar tradisional masih sangat terbatas. Banyak penyebab yang
melatarbelakangi kondisi ini. Dimulai dari keterbatasn jumlah tenaga dan
kemampuan (kompetensi) individu tenaga pengelola pengelola serta keterbatasan
kelembagaan (organisasi) pengelola pasar untuk melakukan pengelolaan pasar dan
pembinaan pedagang.
Selanjutnya permasalahan yang dihadapi oleh para pengelola
pasar di lapangan tidak terlepas dari Kebijakan pimpinan daerah dan para
pejabat di bawahnya (Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah-SKPD) di tingkat
Kabupaten atau Kota. Dari kebijakan yang dikeluarkan dapat diketahui kepedulian
mereka terhadap pasar tradisional berserta para pedagang di dalamnya dan para
Pedagang Kaki Lima (PKL). Seperti diketahui pembiaran PKL dapat menyebabkan
gangguan terhadap pasar tradsional dan para pedagang di dalamnya, sehingga para
PKL juga perlu ditata dan dibina seperti halnya dengan pasar tradisional dan
para pedagangnya.
Berikut ini dicoba untuk menelaah permasalahan pasar
tradisional yang peninjuannya berdasarkan pejabat dan institusinya yang terkai,
dimulai dari lapis (layer) di tingkat paling atas atau pihak-pihak yang
memiliki kewenangan yang paling tinggi (pimpinan daerah), kemudian turun secara
hirarkhi, berjenjang ke bawah yakni ke pihak-pihak (Kepala SKPD dengan jajarannya)
yang memilki kewenangan dengan ruang lingkup yang lebih terbatas.
suasana pasar tradisional
PASAR TRADISIONAL LEBIH SEBAGAI PENGHASIL PENDAPATAN ASLI
DAERAH
Kepedulian Pimpinan Daerah dan Para Pejabat di bawahnya
terhadap pasar tradisional menentukan kebijakan dan bentuk organisasi dari
instansi (SKPD) yang membidangi pasar tradisional di daerahnya. Di beberapa
daerah, pimpinan daerah meletakkan posisi pasar semata-mata sebagai salah satu
sumber utama. Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang dipungut dari
para pedagang. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh Pimpinan Daerah
(Bupati/Walikota) dan Pejabat Daerah di tingkat bawahnya (Kepala SKPD) lebih
menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan retribusi
pasar, seperti Pengaturan Pemungutan dan Penyetoran Retribusi serta
Administrasi Keuangan (pembukuan) Retribusi semata daripada penekanan pada
pembinaan pasar termasuk di dalamnya pembinaan para pengelola pasar dan
pedagang pasar. Akibat dari adanya kebijakan optimalisasi pemungutan retribusi tersebut,
maka kepada para Kepala Pasar diberikan target-target yang untuk mencapainya
pasar diusahakan sedemikian rupa agar dapat menampung pedagang dalam jumlah
sebanyak mungkin, termasuk mengisi sebagian tempat-tempat kosong seperti tangga
dan lorong-lorong pasar yang seharusnya dibiarkan tetap kosong tanpa pedagang
agar para pengunjung tetap nyaman berlalu lalang.
Dalam situasi di mana peran pasar lebih ditekankan sebagai
salah satu penghasil PAD, maka di beberapa daerah mendudukan pasar tradisional
di bawah Dinas Pendapatan Daerah (DINPENDA). Karena kompeteinsi utama DINPENDA
adalah penghimpun PAD, maka sudah barang tentu SKPD ini tidak memiliki
kompetensi sebagai pembina pasar tradisional. Pembinaan para pedagang pasar
biasanya diserahkan kepada dinas (SKPD) yang membidangi perdagangan, koperasi
dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Model pembinaan yang melibatkan dua
SKPD ini biasanya sulit berjalan dengan baik, mengingat masalah koordinasi di
antara dua SKPD tersebut. Di sini SKPD pembina pedagang pasar ketika melakukan
pembinaan harus merasuk ke dalam unit kerja pasar tradisional yang secara
keorganisasian berada di bawah kewenangan DINPENDA. Kesulitan dalam melakukan
koordinasi ini sudah menjadi sesuatu hal yang lumrah karena kentalnya ego sektoral
yang pada akhirnya masalah ini menjadi salah satu sebab munculnya stigma buruk
yang melekat pada pasar tradisional sehingga tidak menarik untuk dikunjungi
oleh masyarakat konsumen. Sebenarnya kondisi ini berujung pada berkurangnya
jumlah pedagang yang berjualan di pasar tersebut yang pada akhirnya dapat
mengurangi besarnya retribusi yang dikumpulkan. Pembinaan pasar tradsional yang
ideal adalah mewujudkan terjadinya keseimbangan antara peran pasar sebagai
penghasil PAD dengan sebagai penyedia fasilitas yang memudahkan masyarakat
untuk melakukan jual beli secara ekonomis dan mengikuti tradisi sosial budaya
yang berkembang di daerah setempat.
Dalam praktik yang paling banyak dijumpai adalah
penggabungan antara tugas pembinaan teknis bagi pengelola dan pedagang pasar
dengan penghimpunan retribusi sebagai PAD yang ditangani oleh satu SKPD yang
sering disebut dengan Dinas Pengelolaan Pasar (DPP). Penggabungan kedua tugas
ini tampaknya merupakan jalan tengah, antara di satu sisi ekstrim yaitu
meletakkan peran pasar tradisional sebagai penyumbang PAD semata dengan di sisi
lain yaitu meletakkan peran pasar tradisional untuk menyediakan tempat bagi
masyarakat pedagang dan kalangan masyarakat konsumen dalam bertransaksi jual
beli. Kebijakan pembinaan dengan mengambil jalan tengah yang menggabungkan
kedua tugas seperti ini memang tidak sebaik jika fokus pembinaan pasar
tradisional diserahkan kepada salah satu SKPD yang memang memiliki kompetensi
inti pembinaan pasar dan pedagang.
Pedagang Kaki Lima (PKL)
Pembinaan pasar tradisional yang paling memerlukan upaya
paling besar adalah pembinaan pedagang yang berjualan di pasar tersebut. Dalam
pembinaan pedagang pasar tradisional perlu juga memperhatikan pedagang lain
yang berada di sekitar pasar tradisional, terutama pedagang kaki lima (PKL).
Berdasarkan pengalaman empiris dan penelitian yang dilakukan
oleh Lembaga Penelitian SMERU (2007) terhadap para pedagang di pasar-pasar
tradisional di Bandung dan Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi
(JABODETABEK) diperoleh informasi bahwa salah satu pesaing utama para pedagang
di pasar-pasar tradisional adalah para PKL. Sehingga keberadaan PKL di sekitar
pasar hendaknya diperhatikan benar agar tidak menyaingi para pedagang pasar,
karena mereka banyak yang berjualan menutupi bagian depan dan jalan masuk ke
pasar yang ini menjadikan bagian luar pasar-pasar tradisional tampak kumuh dan
semrawut. Di kebanyakan pasar tradisional, kondisi seperti ini dibiarkan terus
terjadi tanpa solusi, akibatnya para pembeli tidak perlu masuk ke dalam pasar
sehingga memancing para pedagang yang berjualan di dalam pasar berpindah ke
luar meninggalkan lapaknya yang pada akhirnya keadaan di dalam pasar kosong,
sebaliknya di luar pasar keadaannya padat seperti layaknya pasar tumpah.
Untuk menghindari persaingan antara pedagang pasar dengan
PKL, maka perlu dilakukan penataan dengan menempatkan PKL ke lokasi yang
ditentukan, di mana di tempat yang baru PKL tidak lagi menyebabkan kekumuhan
baru dan tidak menyaingi pedagang pasar tradisional. Untuk menghindari
kesulitan dalam hal koordinasi, maka penanganan permasalahan (penataan dan
pembinaan) pedagang pasar tradisional dan PKL sudah seyogyanya dilakukan di
bawah satu atap (satu SKPD). Di kebanyakan Pemerintah Kabupaten/Kota, SKPD yang
menangani pembinaan pedagang pasar tradisional dan PKL adalah Dinas
Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
(dan Pasar). Mengingat SKPD ini tidak saja bertugas membina pedagang, tetapi
juga membina para pelaku di sektor industri industri terutama yang berskala
usaha mikro, kecil dan menengah serta sektor koperasi, maka pembinaan pasar
tradisional, pedagang pasar dan PKL hanya ditangani oleh pejabat setingkat
Eselon III (Kepala Bidang), bahkan dengan lingkup masing-masing yang lebih
sempit hanya ditangani oleh pejabat setingkat Eselon IV. Di sini kewenangan
pejabat tersebut terbatas, mengingat dalam praktik, pengelolaan pasar
tradisional banyak melibatkan kewenangan SKPD/instansi lain, seperti di bidang
perparkiran, kebersihan, keamanan dan ketertiban, kesehatan, lingkungan hidup,
perlindungan konsumen, dan kemetrologian (tertib ukur). Demikian juga, banyak
pihak yang terlibat dalam penataan dan pembinaan PKL, seperti yang berkaitan
dengan penataan wilayah/kota, keamanan dan ketertiban, kebersihan, serta
perdagangan eceran.
Penanganan permasalahan Pedagang Pasar Tradisional dan PKL
yang dirasakan paling ideal apabila ditangani oleh Dinas Pengelolaan Pasar atau
Dinas Pasar (DPP) dimana di dalam struktur SKPD ini terdapat Bidang yang menangani
Pasar Tradisional termasuk pedagang tradisional di dalamnya dan Bidang yang
khusus menangani PKL. Di sini Kepala Bidang yang menangani Pasar Tradisional
dan Kepala Bidang yang menangani PKL dapat saling berkoordinasi dalam menangani
kedua kelompok pedagang ini di bawah kendali Kepala DPP sebagai koordinator,
sehingga kedua pedagang pasar tradisional tidak diganggu oleh keberadaan PKL
dan kemudian PKL sedikit demi sedikit diarahkan menjadi pedagang pasar
tradisional.
Ada pula daerah yang tidak menjadikan PKL sebagai para
pedagang yang harus dibina, sehingga dapat diaktakan bahawa keberadaannya sama
sekali tidak dikehendaki oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Di sini
Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) diwajibkan menertibkan PKL dan sekaligus
melakukan pembinaan dalam hubungannya dengan kemudahan untuk penertiban, bukan
pembinaan yang berkaitan dengan pembinaan kegiatan usaha di lokasi tetap. Di
sini PKL selalu dianggap menjadi masalah tanpa memperhatikan bahwa
keberadaannya selain dibutuhkan masyarakat konsumen juga menjadi tempat
penampungan pekerja informal, karena keterbatasan daya tampung lapangan kerja
formal di daerah yang bersangkutan. Sudah barang tentu, pengerahan SATPOL PP
dalam penertiban PKL tidak serta merta persaingan antara Pasar Tradisional
dengan PKL dapat terselesaikan, karena proses penertiban hanya menghasilkan
ketertiban PKL yang semu (melarang PKL berdagang di suatu tempat) dan berjangka
pendek, di lain pihak umumnya jumlah PKL akan bertambah terus dan membutuhkan
tempat berdagang yang semakin luas.
PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL
Pemahaman tentang aktivitas pengelolaan pasar dan
perdagangan eceran (ritel) mutlak harus dimiliki oleh aparatur dinas yang
ditugasi membinan pasar tradisional termasuk di dalamnya pedagang pasar. Dalam
merancang kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang diterbitkan dalam Peraturan
Daerah (PERDA) serta peraturan dan pedoman pelaksanaan harus didasarkan atas
pemahaman tentang pengelolaan (manajemen) pasar dan perdagangan eceran (ritel).
Selanjutnya dalam pelaksanaan peraturan dan pedoman pelaksanaan tersebut seyogyanya
para aparatur pelaksana mulai di tingkat SKPD (dinas yang membidangi pasar)
hingga di tingkat pengelola pasar seyogyanya juga memahami hal-hal yang
mendasar tentang pengelolaan pasar dan perdagangan eceran. Tentunya tingkat
pemahaman yang seyogyanya harus dimiliki oleh masing-masing aparatur tersebut
berbeda-beda tergantung pada posisi dan sifat tugas aparatur yang bersangkutan.
Agar para aparatur dapat melaksanakan peraturan dan pedoman
tersebut dengan baik, maka sebelumnya kepada mereka diberikan pelatihan secara
berjenjang tentang pengelolaan pasar dan perdagangan eceran. Selanjutnya kepada
para aparatur yang telah dilatih, kepada mereka diberikan kesempatan untuk
bekerja di bidang-bidang sesuai dengan pengetahuan yang telah diperolehnya sampai
waktu yang dirasakan cukup untuk dapat menerapkan pengetahuan tersebut dan
diharapkan pengelolaan pasar dan pedagang pasar dapat beraktivitas mengikuti
peraturan dan pedoman dengan tertib dan konsisten serta berkesinambungan.
Perdagangan eceran (ritel) merupakan salah satu bagian dari
disiplin ilmu pemasaran yang seringkali kurang dipahami oleh aparatur dari SKPD
yang membidangi perdagangan dan pasar, termasuk di dalamnya pasar moderen dan
pasar tradisional serta perdagangan eceran. Dalam praktik banyak dijumpai dalam
praktik para aparatur yang bekerja di bidang ini tidak memahami tentang
pengetahuan dasar pemasaran yang sebenarnya sangat diperlukan ketika mereka
bekerja. Sehingga banyak kebijakan, peraturan pelaksanaan, pedoman, petunjuk
operasi sebagai upaya pembinaan pasar tradisional serta pedagang pasar dan PKL
di mana para aparatur tersebut terlibat penyiapan dan pelaksanaannya, tidak
dapat dilaksanakan dengan optimal. Akibatnya, banyak pasar-pasar tradisional
berstigma negatif seperti kumuh, kotor, semrawut, bau, sampah berceceran di
mana-mana dan seterusnya.
Dalam merancang kebijakan pembinaan pedagang tradisional dan
PKL dalam bentuk penguatan daya saing di satu sisi dan menghambat beroperasinya
pasar moderen sampai pada suatu saat pasar tradisional mampu bersaing di sisi
lain, diperlukan pemahaman tentang ilmu pemasaran (marketing) merupakan hal
mutlak di samping ilmu sosial lain yang terkait.
Pertimbangan lokasi pasar dan kawasan penempatan PKL
misalnya, perlu didasari oleh kebijakan tentang pengaturan pendirian pasar
moderen serta kebijakan tentang revitalisasi pasar tradisional dan relokasi PKL
ke lokasi yang ditetapkan. lokasi adalah salah satu unsur "P" (Place)
dalam "bauran pemasaran" (marketing mix) yang dikenal dengan "Empat
P" (Product, Place, Price dan Promotion).
Para pedagang perlu mengetahui ilmu tentang dasar-dasar
promosi khususnya mendisplai barang dagangan agar mereka mampu menata dagangan
yang menarik calon pembeli, seperti menempatkan produk-produk tertentu
sedemikian rupa agar Perlu diketahui bahwa kebanyakan para pengunjung pasar,
ketika membeli barang terutama barang-barang sekunder, seperti pakaian dan tas,
untuk berbagai camilan untuk makanan, seringkali dipengaruhi oleh emosinya
(impuls buying). Sehingga penataan (displai) barang yang menarik, seringkali
membangkitkan emosi untuk membeli, sekalipun pembelian ini tidak direncanakan
ketika akan berangkat ke pasar. Diakui bahwa terjadinya pembelian yang tidak
terencana ini juga sangat dipengaruhi oleh daya beli para pengunjung pasar
sebagai konsumen. Semakin kuat daya beli konsumen, maka kemungkinan terjadinya
pembelian yang tidak terencana sebelumnya semakin kuat. Oleh karenanya, para
pedagang setidaknya sepintas perlu memahami karakter dan kemampuan untuk
membeli yang dimiliki oleh para pengunjung pasar yang menjadi pelanggannya.
Para pedagang terbiasa menyimpam/menimbun barang dagangan
yang bersifat tahan lama melebihi kemampuan menjual selama periode tertentu.
Kebanyakan pedagang cenderung banyak membeli (kulakan) barang dagangan tahan
lama pada saat harga murah dan persediaan berlimpah, kemudian disimpan entah
sampai kapan. Kemudian, mereka merasa kegiatan usahanya akan lebih aman apabila
memiliki barang dagangan dibanding memegang uang kontan, karena persediaan
barang dagangan yang berlimpah diperlukan untuk berjaga-jaga jika seandainya
ada pembeli secara tiba-tiba membutuhkannya dalam jumlah besar yang sebenarnya
berdasar pengalaman jarang terjadi. Di satu sisi hal ini mengakibatkan ada
barang dagangan yang menjadi kedaluwarsa akibat prinsip First in First out
(FIFO) sulit dijalankan karena penimbunan persediaan/stock barang yang
peletakkannya sembarangan tidak dilakukan secara sistematis berdasarkan periode
pengadaan melainkan ditumpuk-tumpuk seadanya. Di sisi lain, pasar menjadi
tampak kumuh karena penuh dengan tumpukan barang-barang milik pedagang sebagai
persediaan barang dagangan. Apabila peletakkan barang dilakukan dengan
menumpuk-numpuk hingga tinggi ke plafon, maka sirkulasi udara segar menjadi
tidak lancar dan sinar dari cahaya matahari atau lampu penerangan terhalang
yang akibatnya los dan lorong/gang pasar menjadi pengap (panas) dan gelap
sehingga keadaan pasar menjadi tidak nyaman. Kelemahan ini dapat diatasi dengan
memberikan pengetahuan tentang "merchandising" sederhana kepada para
pedagang, sehingga mereka mengetahui tentang periodesasi pengadaan dan
penimbunan stock barang dagangan (inventory) yang efisien dan ekonomis serta
aman bagi kelancaran aktivitas usaha. Di sini para pedagang perlu memahami
kebiasaan para pelanggannya kapan membeli dalam jumlah besar atau jumlah yang
normal, dan berapa besarnya jumlah pembelian. Selain itu, juga perlu memahami
kapan waktunya sulit untuk mendapatkan pasokan. Dengan memahami kondisi
kebutuhan dan pasokan tersebut, para pedagang dapat memperkirakan besarnya
persediaan barang dagangan yang harus disediakan berdasarkan periode penjualan.
Persediaan barang dagangan ini ekonomis, efisien dan aman bagi kelangsungan
usaha.
Agar para pedagang tradisional dapat memahami cara untuk
mengatasi kelemahan-kelamahan di muka, maka pihak pengelola pasar sebagai
pembina perlu mensosialisasikan pengetahuan tentang pemasaran dan merchandising
sederhana kepada para pedagang. Untuk itu, kepada pihak pengelola pasar harus
terlebih dahulu diberikan pengetahuan dimaksud terlebih dahulu, atau dapat juga
dilakukan dengan menggunakan jasa konsultan dari pihak ketiga, namun jangan
sepenuhnya dilakukan oleh pihak ketiga, karena dibatasi oleh kontrak kerja
dalam jangka waktu tertentu.
REVITALISASI PASAR TRADISIONAL
Kebijakan Pemeerintah dan Pemerintah Daerah dalam
merevitalisasi pasar tradisional masih lebih menekankan pada perbaikan
(renovasi) phisik bangunan pasar. Masih sangat jarang yang disertai dengan
pembangunan kelembagaan (institutional building) seperti mengembangkan
organisasi (organizational development) pengelola dan pembina pasar
tradisional, termasuk di dalamnya pengembangan sistem manajemen pasar beserta
sumber daya manusia (SDM) yang terlibat serta pedagang pasar.
Mulai tahun 2012, Kementerian Perdagangan memberikan
bimbingan teknis kepada para pedagang bersama para pengelola pasar tradisional
tentang cara berjualan yang baik, seperti mengupayakan dan memelihara
kebersihan pasar, cara berdagang yang baik dengan penataan barang dagangan yang
menarik pembeli dan pengelolaan pasar. Kegiatan ini masih difokuskan pada
pasar-pasar tradisional yang telah direvitalsasi pada tahun lalu, seperti Pasar
Grabag di Kabupaten Purworejo, Pasar Cokrokembang di Kabupaten Klaten dan Pasar
Minulyo di Kabupaten Pacitan.
Selain dibangun oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
pembangunan bangunan pasar juga dilakukan oleh pihak swasta, di mana pihak
swasta bertindak sebagai pihak pengembang yang berhak menjual kios-kios di
lokasi tertentu, biasanya di bagian bangunan pasar yang menghadap ke luar, baik
di lantai dasar maupun di lantaui atas apabila bangunan pasar tersebut
merupakan pasar yang bertingkat. Sedangkan pihak Pemerintah Daerah bertindak
sebagai pengelola pasar yang bersangkutan ketika telah selesai direnovasi.
Namun di beberapa daerah, pihak swasta yang bertindak sebagai pengembang juga
diserahi untuk mengelola pasar setelah selesai direnovasi dengan cara
pengelolaan swasta yang biasanya lebih profesional dibanding dengan pengelolaan
oleh Pemerintah Daerah, sehingga pasarnya tampak lebih rapi, bersih dan nyaman.
Pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang
bekerjasama dengan pihak swasta biasanya menghasilkan bangunan pasar yang lebih
besar, bertingkat dan tampak megah. Seringkali pada saat merencanakan bangunan
pasar yang baru tidaklah terlalu rinci mempertimbangkan jumlah pedagang yang
akan berdagang dan jumlah pembeli yang akan dilayani di pasar yang baru nanti.
Pengembang berpandangan bahwa apabila dibangun pasar yang lebih besar, lebih
baik dan lebih megah, maka pasar tersebut akan semakin ramai karena lebih
banyak pengunjung atu pembeli. Pengembang kurang memperhitungkan bahwa ada
tempat berbelanja lain yang sudah terlebih dahulu beroperasi yang menarik
banyak pengunjung, Di sini pengembang dan pengelola pasar harus menjadikan
pasar tradisional yang baru tersebut lebih menarik untuk dikunjungi dibanding
dengan pasar lain termasuk pasar moderen yang sudah terlebih dahalu ada..
Seringkali upaya ini gagal sehingga pasar tradisional yang baru tersebut tampak
kosong, sepi pengunjung dan sebagaian dari para pedagang menutup kegiatan
usahanya.
Permasalahan revitalisasi sebenarnya muncul sejak awal pada
saat penjualan kios atau lapak bagi para calon pedagang yang baru. Penjualan
kios oleh pihak pengembang bersifat jual putus di mana pihak pengembang tidak
lagi berwenang menentukan jenis barang dagangan setelah kios tersebut dijual ke
pedagang. Permasalahan muncul ketika kios atau lapak yang sudah dibeli oleh
pihak pertama dijual kembali ke pedagang lain yang jenis dagangannya berbeda
dengan barang dagangan yang sudah ditentukan untuk zona di mana kios atau lapak
tersebut berada. Inilah yang menjadi salah satu sumber ketidaktertiban
zonanisasi barang dagangan di banyak pasar tradisional pada dewasa ini. Untuk
mencegah terjadinya hal ini, maka setiap peralihan hak milik kios atau lapak
harus sepengetahuan pihak pengelola pasar. Apabila jenis dagangan dari pedagang
yang bertindak sebagai pembeli kios atau lapak berbeda dengan jenis barang
dagangan yang ditetapkan untuk zona yang bersangkutan, maka perpindahan tangah
sebaiknya tidak diteruskan.
Di banyak kabupaten dan kota, kepemilikan lapak atau kios
pasar tradisional yang telah direnovasi atau dibangun kembali oleh seseorang dapat
lebih dari satu lapak atau kios, sekalipun sebenarnya ia hanya membutuhkan satu
lapak atau kios. Sedangkan sisa lapak atau kios yang sudah dimiliknya disewakan
atau dijual kembali. Di sini pedagang tersebut seolah-olah bertindak sebagai
investor yang kebetulan memiliki dana berlebih dan atau memiliki hak istimewa
(privilige). Berdasarkan pengalaman empiris di lapangan, hal ini seringkali
menjadi salah satu penyebab banyaknya jumlah kios yang tidak beroperasi di
pasar-pasar tradisional yang telah selesai direnovasi atau dibangun kembali dan
mulai beroperasi kembali.
Sebagaian dari pemilki kios baru kemungkinan sebelumnya
adalah pemilik lapak di los pasar atau pemilik warung di luar pasar (di
rumah-rumah penduduk di sekitar pasar) atau ex PKL di sekitar pasar. Bagi para
ex PKL, perpindahan operasi ke lapak pasar seringkali menimbulkan masalah pada
pasar tradisional, terutama dalam hal kebersihan pasar dan ketidakterarturan
penataan barang dagangan. Mereka harus menyesuaikan diri dengan peraturan
tentang ketertiban dan kebersihan pasar. Mereka harus mengikuti jam operasi
pasar yang sudah ditentukan. Dalam mendisplai barang dagangannya mereka harus
mengikuti aturan tidak boleh menjorok jauh ke depan, sehingga mengurangi lebar
gang atau lorong tempat pengunjung berjalan dan tidak boleh terlalu banyak
menimbun barang dagangan (stock) yang melebihi daya tampung lapaknya.
Sebaiknya, untuk menhindari kegagalan program revitalisasi
pasar tradisional, maka pada saat peerencanaan pembangunan perlu dipikirkan
kapasitas pasar yang akan dibangun harus sesuai dengan jumlah pedagang yang
sekarang ada, kemungkinan penambahan jumlah pedagang yang sekarang ada, serta
jumlah dan segmen konsumen yang akan berbelanja di pasar tersebut. Seringkali
dijumpai banyak keluhan dari pedagang yang sudah berdagang sejak di psar lama,
ketika berpindah ke pasar yang sudah direnovasi ukuran kios dan lapak yang
diperolehnya menjadi berkurang atau lebih kecil dengan alasan bahwa banyak
pedagang baru yang harus ditampung. Kondisi ini menjadi alasan para pedagang
untuk menata barang dagangannya melonjak ke luar lapak atau kios melonjak dari
batas yang diperkenankan. Akibatnya gang/lorong di los-los pasar menjadi sempit
dan tidak nyaman untuk para pembeli berlalu lalang di pasar.
Selanjutnya, juga perlu dipikirkan persiapan calon pengelola
pasar (manajemen pasar) yang akan ditugasi mengelola pasar yang baru. Sebaiknya
kepada mereka sejak awal diberikan pelatihan tentang manajemen pasar dan
diwajibkan menyusun sendiri serangkaian prosedur kerja dan pengawasan pekerjaan
di bawah bimbingan pihak yang berkompeten dalam manajemen pasar. Pelatihan dan
penyusunan prosedur kerja dan pengawasan pekerjaan ini dilakukan pada saat
aktivitas renovasi atau pembangunan pasar yang baru sedang berlangsung.
Pengetahuan yang telah diperoleh serta prosedur kerj dan pengawasan pekerjaan
yang telah dibuat, hendaknya dipratikan di lingkungan pasar di penempatan
sementara selama bangunan pasar sedang direnovasi atau dibangun kembali, agar
mereka terbiasa bekerja dengan menggunakan sistem.
Kepada para pedagang yang mendiami lokasi pasar sementara,
diperkenalkan pengetahuan sederhana tentang perdagangan eceran mencakup
merchandising seperti merencanakan pembelian (kulakan) barang dan persedian
(merencanakan stock), sortasi dan pengemasan, penataan dan penyimpanan barang
secara sistematis sesuai dengan prinsip FIFO serta pengetahuan tentang
manajemen keuangan sederhana. Sama halnya dengan pelatihan bagi calon pengelola
pasar, kegiatan bagi para pedagang tersebut juga dilakukan pada saat renovasi
atau pembangunan pasar yang baru sedang berlangsung.
Selanjutnya, sejak awal kepada para pedagang juga
diperkenalkan tentang penanganan kebersihan yaitu setiap pedagang diwajibkan
memiliki tempat sampah sementara di lapak atau kiosnya masing-masing, bisa
berbentuk kantung plastik atau tempat sampah dari plastik yang sedapat mungkin
sudah memisahkan sampah organik dan anorganik. Setiap kantung sampah tersebut
penuh dibuang ke tempat sampah yang terletak di gang atau lorong dekat lapak
atau kiosnya. Tujuan untuk memisahkan sampah organik dan anorganik adalah untuk
persiapan apabila sampah-sampah tersebut diolah menjadi kompos yang ini harus
sudah dipikirkan sejak jauh-jauh hari. Selain itu, pedagang juga diwajibkan
untuk bertanggung jawab terhadap kebersihan di lokasi sekitar setiap lapak atau
kiosnya. Kepada setiap pedagang diajarkan untuk mematuhi batas tempat yang
diijinkan berjualan sehingga tidak mengurangi lebar gang di losnya
masing-masing. Dengan melibatkan pedagang dalam hal kebersihan dan ketertiban
pasar, maka beban pihak pengelola pasar menjadi lebih ringan. Apabila
kebiasaan-kebiasaan seperti ini sudah ditanamkan sejak dini, khususnya pada
pasar yang sedang direnovasi atau dibangun kembali, maka diharapkan
kebiasaan-kebiasaan ini akan terus berlanjut di pasar yang baru.
Pada saat pasar yang baru akan mulai beroperasi, masalah
yang terpelik adalah pembagian lapak dan kios. Di sini perlu dilibatkan calon
pengelola pasar yang baru, karena pengalaman empiris menunjukkan bahwa para
pengelola pasar merasa tidak tahu menahu tentang pembagian lapak atau kios pada
saat pasar yang baru akan mulai beroperasi. Para pengelola pasar yang baru pada
umumnya hanya ditugasi menjalankan pengelolaan pasar, sehingga ketika pasar
yang baru sudah berjalan kemudian terjadi ketidakdisiplinan zonanisasi
pedagang, pihak pengelola cenderung membiarkan atau tidak mau bertanggung
jawab, karena merasa tidak dilibatkan awal pembentukan zona pedagang
berdasarkan jenis barang dagangan. Padahal ketidaktertiban zonanisasi pedagang
merupakan titik awal mulai terjadinya kesemerawutan pasar tradisional.
MANAJEMEN PASAR TRADISIONAL
Keterbatasan kemampuan manajerial pengelola pasar
tradisional mempengaruhi kondisi pasar yang bersangkutan, bahkan hal ini
menjadi salah satu penyebab utama melekatnya stigma negatif yang kini melekat
di pasar-pasar tradisional pada umumnya. Berdasarkan pengalaman empiris di 30
Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah, pasar-pasar tradisional yang memiliki
tingkat kebersihan, keamanan dan kenyamanan yang tinggi biasanya memiliki Tim
Pengelola Pasar dengan organisasi yang berstruktur lengkap dengan pedoman kerja
jelas dan cukup rinci. Selain itu pengelola pasar tersebut juga secara intensif
dibina dan disupervisi oleh SKPD yang membidangi pasar tradisional dan pedagang
(pedagang pasar dan PKL), dengan perkataan lain pasar tradisional tidak semata
difungsikan sebagai pengkontribusi PAD.
Seringkali Kepala Pasar memiliki keterbatasan wewenang
(otoritas) dalam mengelola pasar tradisonal yakni menghadapi petugas-petugas
yang berada di bawah kendali SKPD lain di luar SKPD yang mebidangi pasar dan
pedagang, seperti petugas-petugas yang menangani perparkiran, kebersihan dan
pertamanan, pembangunan dan perawatan sarana dan prasarana (bangunan, fasilitas
air bersih, listrik, pengolahan sampah dan air limbah), dan juga terkadang yang
menangani ketertiban PKL. Di sini peran SKPD pembina sangat diperlukan untuk
berkoordinasi dengan SKPD lain yang terkait.
Bentuk organisasi pengelola pasar juga seringkali menentukan
efektivitas pengelolaan pasar tradisional. Di beberapa kabupaten/kota bentuk
organisasi pengelola adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang membawahi
lebih dari satu pasar ( tiga atau empat pasar). Seringkali kemampuan manajerial
Kepala UPTD tidak seimbang dengan jumlah pasar yang harus dikelolanya, sehingga
terkesan pasar-pasar tersebut sebatas sebagai unit sumber PAD.
Di beberapa kota, organisasi pengelola pasar tradisional
berbentuk Perusahaan Daerah (PERUSDA) seperti di DKI Jakarta, Surabaya dan
Bogor. PERUSDA biasanya memiliki kemampuan manajemen yang lebih baik dibanding
pihak-pihak penngelola pasar ttradisional di bawah SKPD yang membidangi pasar.
Namun tampaknya kemampuan dalam membina para pedangan di pasar-pasar tersebut
masih lemah, sehingga ciri kekumuhan pasar-pasar tradisional di bawah PERUSDA
masih terlihat.
PENUTUP
Pembinaan pasar tradisional memerlukan upaya terintegrasi,
mulai di tingkat kebijakan hingga di tingkat operasional. Setiap tingkat
memerlukan bentuk-bentuk pembinaan yang saling terkait satu bidang dengan
bidang lain. Sebagai contoh, pembinaan pasar tradsional beserta pedagang pasar
dan PKL di tingkat operasional merupakan kelanjutan dari kebijakan Pemerintah
Daerah yang tertuang dalam Peraturan Daerah (PERDA) beserta peraturan
pelaksanaannya. Pembinaan di tingkat operasional diwujudkan dalam bentuk
pembinaan manajemen pasar tradisional dan pedagang pasar serta pembinaan PKL
dan lingkungannya, ketertiban perparkiran, penataan jalur angkutan kota,
penataan tempat pejalan kaki (pedesterian), dan kawasan wisata kuliner.
Keterkaitan dengan bidang-bidang lain inilah yang seringkali kurang diperhatikan,
sehingga penanganan masalah bersifat parsial, hasilnya kurang maksimal karena
kurang dapat menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.
Mengingat kondisi pasar tradisional yang seperti ini sudah
berlangsung sejak lama, maka perlu kebijakan dan tindakan yang konsisten serta
berkesinambungan yang tidak bisa mengharapkan hasilnya segera tampak. Perbaikan
yang harus dilakukan harus menyentuh perubahan perilaku masyarakat (aparatur
dan petugas serta pedagang dan pengunjung pasar) yang ini memerlukan banyak
contoh yang dapat dimulai dengan bentuk-bentuk pilot project.
Berdasarkan pengalaman empiris di banyak daerah,
keberhasilan pembinaan pasar dan pedagang pasar tradisonal sangat ditentukan
oleh kepedulian para Kepala Daerah (Bupati dan Walikota) yang diikuti oleh para
pejabat di tingkat teknis. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa kebijakan
Kepala Daerah yang menetapkan pasar sebagai salah satu sumber PAD tanpa diikuti
dengan pengembalian pendapatan ke pasar secara signifikan sebagai tambahan
biaya operasional dan perawatan/pemeliharaan serta biaya pembinaan bagi
pengelola dan pedagang pasar, maka hal ini menjadi penyebab utama kondisi
pasar-pasar tradisional memiliki ber-stigma negatif seperti kumuh, semrawut,
kotor, dan tidak nyaman dikunjungi oleh masyarakat konsumen.